Di
masa lalu, ada sistem wireless local loop (WLL) fixed, baik yang analog
(ultraphone) maupun yang digital (DECT). Tetapi karena kinerjanya sangat buruk,
WLL sering diplesetkan menjadi weleh-weleh. Untuk wireless mobile dikenal ada
beberapa sistem, seperti NMT (nordic mobile telephone) dan AMPS (advance mobile
phone system), yang juga secara bisnis kurang berhasil.
Tapi tidak semua teknologi wireless kinerjanya buruk. Dalam dunia telekomunikasi seluler digital misalnya, teknologi wireless “edisi terakhir”, yaitu CDMA (code divison multiple access) justru performansinya amat handal. Teknologi CDMA terbukti dan diakui jauh lebih baik dari GSM (global system for mobile communications), antara lain dalam kapasitas dan mutu suara. Dalam wireless fixed, CDMA pun berkembang dari yang “polos” semisal CDMAOne, sampai kini yang cukup berhasil diaplikasikan di Korea dan Cina, CDMA 2000-1X yang lebih dimanfaatkan untuk telepon tetap.
Kepincut akan keberhasilan Cina dan Korea, PT Telkom dan PT Indosat kini sedang gencar-gencarnya mempromosikan CDMA 2000-1X. Jatuhnya pilihan kepada CDMA 2000-1X didasari oleh alasan akan kebutuhan percepatan pembangunan. Karena faktor geografis Indonesia yang berpulau-pulau dan bergunung-gunung, membangun fasilitas telekomunikasi selain tidak mudah juga tidak murah. Bercermin dari pengalaman PT Telkom, biaya pembangunan tiap SST (satuan sambungan telepon) konvensional, yaitu menggelar kabel tembaga, memerlukan sekitar 800 hingga 1.000 dollar AS.
Dengan ARPU (average revenue per user - rata-rata pendapatan dari tiap pelanggan) yang rendah, modal baru kembali dalam 15 tahun. Padahal, usia teknis peralatan, walau usia ekonomisnya sebetulnya masih panjang, cuma sekitar empat tahun. Ini karena meski peralatan masih bagus, pabriknya tidak lagi membuat suku cadang model itu, karena teknologi telekomunikasi berkembang sangat cepat dan pabrik harus mengikutinya. Itulah sebabnya, kepadatan telepon per seratus penduduk (teledensity) Indonesia masih rendah, cuma 3,7 telepon (3,7 persen). Padahal, peran telekomunikasi dalam pertumbuhan ekonomi dan kelancaran perdagangan cukup besar, jauh lebih besar dari transportasi.
Kedua operator telekomunikasi BUMN ini menggunakan CDMA 2000-1X, antara lain karena biayanya jauh lebih murah, hanya sekitar 200-250 dollar AS per SST. Selain itu, pembangunannya cepat. Jika penggelaran kabel, diperlukan waktu dua tahunan, untuk fixed wireless waktunya hanya dalam hitungan jam. Kalau perangkat sentral, switching dan BTS (base transceiver station) sudah siap, begitu pelanggan menyelesaikan persyaratan administrasi pasang baru dan membeli handset yang kemudian diprogram nomornya, saat itu pula telepon berfungsi.
Seperti diketahui, Telkom menargetkan pembangunan 40 ribu SST fixed phone wireless CDMA 2000-1X sampai akhir tahun 2002. Pembangunan itu akan dilakukan di tiga kota, yakni Surabaya, Denpasar, dan Balikpapan. Tahun 2003 ini, Telkom meningkatkan target pembangunan menjadi 770 ribu SST, sehingga sampai 2004 akan tercapai pembangunan 1,5 juta SST. Sementara PT Indosat, dengan basis teknologi yang sama, menyanggupi akan membangun 759 ribu SST sampai 2010, sebagai konsekuensi berlakunya duopoli.
Bagi PT Telkom, hal ini sangat menguntungkan karena akan menghemat waktu yang berarti biaya uang (cost of money) menjadi rendah. PT Telkom menggandeng Samsung dari Korea yang sudah berpengalaman dalam implementasi CDMA di negaranya. Asal tahu saja, populasi pengguna teknologi ini di Negeri Ginseng itu mencapai 20 jutaan. Secara resmi, untuk pertama kalinya CDMA 2000-1X PT Telkom ini diluncurkan di Surabaya, akhir Nopember 2002 lalu. Namanya TelkomFlexi, bekerja pada frekuensi 800 MHz. Telkom tidak bisa menggunakan frekuensi ini di Jakarta, Banten, dan Jawa Barat, karena Ratelindo dan Komselindo sudah memiliki dan mengoperasikannya.
Komselindo menggunakan frekuensi 800 MHz sebanyak 10 MHz di side B frekuensi 835-845 MHz dan 880-890 MHz untuk AMPS dan CDMAOne, sementara Ratelindo 10 MHz di band A frekuensi 825-835 MHz dan 870-880MHz. Untuk CDMA 2000-1X-nya pada frekuensi 800 MHz, PT Telkom cuma mendapat alokasi 5 MHz, antara 825-830 MHz. Yang menarik, karena sifatnya wireless, meskipun CDMA 2000-1X digunakan untuk fixed wireless seperti halnya telepon tetap kabel di rumah kita, TelkomFlexi tetap lebih lentur dan fleksibel. Selain untuk telepon meja, handset-nya bisa ditenteng-tenteng dan dipakai sepanjang masih dalam lingkup areanya atau lingkup BTS-nya. Contohnya adalah C-Phone yang sudah lebih dulu beroperasi di Surabaya.
Pihak Telkom menyebut area ini dengan nama Area Flexi, area di mana terminal pelanggan itu terdaftar. Kalau di area BTS, maka pelanggan bisa membawa terminalnya pada jangkauan sekitar dua kilometer, sesuai area liputan BTS, tetapi sangat tergantung pada kontur bumi atau kepadatan gedung. Pada praktiknya, kalau terminal dibawa keluar area BTS, pelanggan TelkomFlexi cuma dikenai charge sebesar Rp 50 per menit, dengan menggunakan fitur automutasi. Sementara tarifnya, ditetapkan sama dengan tarif telepon tetap PT Telkom, bukan tarif airtime seluler. Jadi, tarifnya relatif murah.
Secara teknologi, TelkomFlexi bisa dibawa ke mana saja sepanjang ada jaringan CDMA 2000-1X. Misalnya dari Surabaya ke Malang, namun itu akan menimbulkan persaingan tidak sehat dengan operator seluler, sehingga antarkode area, CDMA 2000-1X dibuat tidak bisa roaming. Ini berbeda dengan telepon tetap (PSTN-public switched telephone network) walau tarifnya - termasuk panggilan jarak jauh (SLJJ) - sama, TelkomFlexi tetap jauh lebih murah. Apalagi, TelkomFlexi juga menyediakan layanan prabayar, yang selain tarif standar juga masih akan dikenai lagi pungutan tambahan (surcharge).
Menariknya lagi, TelkomFlexi ini menyediakan berbagai layanan, yaitu layanan teleponi (suara dan faksimile) termasuk berbagai fiturnya. Misalnya, call forwarding, barring, hold, waiting, KLIP (kenali langsung identitas pelanggan), CLIR (calling line identification restriction), trimitra, pesan suara, indikator pesan masuk, pesan jangan diganggu, dan bermacam fitur lagi sepanjang dimungkinkan oleh CDMA. Selain itu, bisa untuk menerima SMS (short message service), web service dan pesan bergambar multimedia (MMS-multimedia messaging service), juga layanan pascabayar dan prabayar, kemungkinan pindah area BTS tanpa keluar dari kode area.
Setelah diluncurkan di Surabaya (kode area 031), TelkomFlexi secara resmi dikomersialkan mulai bulan Desember 2002 lalu sebanyak 25.000 SST. Dalam waktu dekat, dengan dukungan Samsung, TelkomFlexi akan melebarkan sayapnya ke Denpasar, Balikpapan dan kota-kota lain di Indonesia yang masih kesulitan dalam menambah nomor baru. Pihak Samsung mendapat kontrak senilai 14,7 juta dollar AS untuk membangun 40.000 SST, termasuk 16 BTS CDMA 2000-1X untuk TelkomFlexi, 10 BTS di antaranya, untuk Surabaya. Dari jumlah itu, termasuk 10.000 untuk Denpasar dan 5.000 untuk Balikpapan. Proyek T-21 paket kedua, PT Telkom sendiri akan membangun 802.000 SST fixed wireless dengan teknologi berbasis CDMA 2000-1X.
Pelanggan TelkomFlexi harus menyediakan sendiri terminal handset-nya, yang kini diperkirakan harganya sekitar Rp 1,3 juta sampai Rp 3 juta per buah. Selain terminal, pelanggan di Surabaya juga harus membayar biaya pasang baru yang ditetapkan sebesar Rp 150.000 per SST, sama dengan tarif pasang baru dan biaya bulanan (abonemen) segmen bisnis. PT Telkom menyarankan calon pelanggan agar membeli handset yang khusus triband yang bisa bekerja pada frekuensi 800 MHz, 1.800 MHz, dan 1.900 MHz. Terminal lama milik pelanggan C-Phone di Surabaya masih bisa digunakan meskipun beberapa layanan yang diberikan oleh TelkomFlexi tidak bisa difungsikan di terminal ini.
Menurut Kepala Fixed Wireless PT Telkom Alex Sinaga, himbauan tadi perlu disampaikan karena ternyata PT Telkom terpaksa menggunakan dua frekuensi untuk operasional CDMA-nya, yaitu di 800 MHz dan 1.900 MHz. Frekuensi 800 digunakan untuk daerah luar Jakarta, Jawa Barat, dan Banten, karena di tiga daerah itu PT Telkom mendapat frekuensi 1900 MHz, akibat pemilik frekuensi 800 enggan berbagi dengan PT Telkom. Untuk Divisi Regional II Jakarta, CDMA-1X akan mulai dioperasikan pada triwulan pertama tahun 2003, dengan jumlah awal sebanyak 90.000 SST. Terminal CDMA 2000-1X itu akan bisa digunakan untuk bergerak di wilayah kode areanya.
Meski wilayah Divre II Jakarta meliputi juga Bogor, Purwakarta, Karawang, dan Serang, terminal berkode area nomor 021 tidak bisa digunakan di area lain, misalnya Bogor (0251). Wilayah cakupan 021 pun, dibagi lima sesuai wilayah kantor daerah telekomunikasi (kandatel) plus sebagian Datel Bekasi dan Tangerang, sepanjang masih menggunakan kode area 021. Penggunaan di luar wilayah tadi dikenai biaya mutasi sebesar Rp 50 per menit. Tapi biaya ini, lagi-lagi, masih murah dibanding telepon tetap.
Tapi tidak semua teknologi wireless kinerjanya buruk. Dalam dunia telekomunikasi seluler digital misalnya, teknologi wireless “edisi terakhir”, yaitu CDMA (code divison multiple access) justru performansinya amat handal. Teknologi CDMA terbukti dan diakui jauh lebih baik dari GSM (global system for mobile communications), antara lain dalam kapasitas dan mutu suara. Dalam wireless fixed, CDMA pun berkembang dari yang “polos” semisal CDMAOne, sampai kini yang cukup berhasil diaplikasikan di Korea dan Cina, CDMA 2000-1X yang lebih dimanfaatkan untuk telepon tetap.
Kepincut akan keberhasilan Cina dan Korea, PT Telkom dan PT Indosat kini sedang gencar-gencarnya mempromosikan CDMA 2000-1X. Jatuhnya pilihan kepada CDMA 2000-1X didasari oleh alasan akan kebutuhan percepatan pembangunan. Karena faktor geografis Indonesia yang berpulau-pulau dan bergunung-gunung, membangun fasilitas telekomunikasi selain tidak mudah juga tidak murah. Bercermin dari pengalaman PT Telkom, biaya pembangunan tiap SST (satuan sambungan telepon) konvensional, yaitu menggelar kabel tembaga, memerlukan sekitar 800 hingga 1.000 dollar AS.
Dengan ARPU (average revenue per user - rata-rata pendapatan dari tiap pelanggan) yang rendah, modal baru kembali dalam 15 tahun. Padahal, usia teknis peralatan, walau usia ekonomisnya sebetulnya masih panjang, cuma sekitar empat tahun. Ini karena meski peralatan masih bagus, pabriknya tidak lagi membuat suku cadang model itu, karena teknologi telekomunikasi berkembang sangat cepat dan pabrik harus mengikutinya. Itulah sebabnya, kepadatan telepon per seratus penduduk (teledensity) Indonesia masih rendah, cuma 3,7 telepon (3,7 persen). Padahal, peran telekomunikasi dalam pertumbuhan ekonomi dan kelancaran perdagangan cukup besar, jauh lebih besar dari transportasi.
Kedua operator telekomunikasi BUMN ini menggunakan CDMA 2000-1X, antara lain karena biayanya jauh lebih murah, hanya sekitar 200-250 dollar AS per SST. Selain itu, pembangunannya cepat. Jika penggelaran kabel, diperlukan waktu dua tahunan, untuk fixed wireless waktunya hanya dalam hitungan jam. Kalau perangkat sentral, switching dan BTS (base transceiver station) sudah siap, begitu pelanggan menyelesaikan persyaratan administrasi pasang baru dan membeli handset yang kemudian diprogram nomornya, saat itu pula telepon berfungsi.
Seperti diketahui, Telkom menargetkan pembangunan 40 ribu SST fixed phone wireless CDMA 2000-1X sampai akhir tahun 2002. Pembangunan itu akan dilakukan di tiga kota, yakni Surabaya, Denpasar, dan Balikpapan. Tahun 2003 ini, Telkom meningkatkan target pembangunan menjadi 770 ribu SST, sehingga sampai 2004 akan tercapai pembangunan 1,5 juta SST. Sementara PT Indosat, dengan basis teknologi yang sama, menyanggupi akan membangun 759 ribu SST sampai 2010, sebagai konsekuensi berlakunya duopoli.
Bagi PT Telkom, hal ini sangat menguntungkan karena akan menghemat waktu yang berarti biaya uang (cost of money) menjadi rendah. PT Telkom menggandeng Samsung dari Korea yang sudah berpengalaman dalam implementasi CDMA di negaranya. Asal tahu saja, populasi pengguna teknologi ini di Negeri Ginseng itu mencapai 20 jutaan. Secara resmi, untuk pertama kalinya CDMA 2000-1X PT Telkom ini diluncurkan di Surabaya, akhir Nopember 2002 lalu. Namanya TelkomFlexi, bekerja pada frekuensi 800 MHz. Telkom tidak bisa menggunakan frekuensi ini di Jakarta, Banten, dan Jawa Barat, karena Ratelindo dan Komselindo sudah memiliki dan mengoperasikannya.
Komselindo menggunakan frekuensi 800 MHz sebanyak 10 MHz di side B frekuensi 835-845 MHz dan 880-890 MHz untuk AMPS dan CDMAOne, sementara Ratelindo 10 MHz di band A frekuensi 825-835 MHz dan 870-880MHz. Untuk CDMA 2000-1X-nya pada frekuensi 800 MHz, PT Telkom cuma mendapat alokasi 5 MHz, antara 825-830 MHz. Yang menarik, karena sifatnya wireless, meskipun CDMA 2000-1X digunakan untuk fixed wireless seperti halnya telepon tetap kabel di rumah kita, TelkomFlexi tetap lebih lentur dan fleksibel. Selain untuk telepon meja, handset-nya bisa ditenteng-tenteng dan dipakai sepanjang masih dalam lingkup areanya atau lingkup BTS-nya. Contohnya adalah C-Phone yang sudah lebih dulu beroperasi di Surabaya.
Pihak Telkom menyebut area ini dengan nama Area Flexi, area di mana terminal pelanggan itu terdaftar. Kalau di area BTS, maka pelanggan bisa membawa terminalnya pada jangkauan sekitar dua kilometer, sesuai area liputan BTS, tetapi sangat tergantung pada kontur bumi atau kepadatan gedung. Pada praktiknya, kalau terminal dibawa keluar area BTS, pelanggan TelkomFlexi cuma dikenai charge sebesar Rp 50 per menit, dengan menggunakan fitur automutasi. Sementara tarifnya, ditetapkan sama dengan tarif telepon tetap PT Telkom, bukan tarif airtime seluler. Jadi, tarifnya relatif murah.
Secara teknologi, TelkomFlexi bisa dibawa ke mana saja sepanjang ada jaringan CDMA 2000-1X. Misalnya dari Surabaya ke Malang, namun itu akan menimbulkan persaingan tidak sehat dengan operator seluler, sehingga antarkode area, CDMA 2000-1X dibuat tidak bisa roaming. Ini berbeda dengan telepon tetap (PSTN-public switched telephone network) walau tarifnya - termasuk panggilan jarak jauh (SLJJ) - sama, TelkomFlexi tetap jauh lebih murah. Apalagi, TelkomFlexi juga menyediakan layanan prabayar, yang selain tarif standar juga masih akan dikenai lagi pungutan tambahan (surcharge).
Menariknya lagi, TelkomFlexi ini menyediakan berbagai layanan, yaitu layanan teleponi (suara dan faksimile) termasuk berbagai fiturnya. Misalnya, call forwarding, barring, hold, waiting, KLIP (kenali langsung identitas pelanggan), CLIR (calling line identification restriction), trimitra, pesan suara, indikator pesan masuk, pesan jangan diganggu, dan bermacam fitur lagi sepanjang dimungkinkan oleh CDMA. Selain itu, bisa untuk menerima SMS (short message service), web service dan pesan bergambar multimedia (MMS-multimedia messaging service), juga layanan pascabayar dan prabayar, kemungkinan pindah area BTS tanpa keluar dari kode area.
Setelah diluncurkan di Surabaya (kode area 031), TelkomFlexi secara resmi dikomersialkan mulai bulan Desember 2002 lalu sebanyak 25.000 SST. Dalam waktu dekat, dengan dukungan Samsung, TelkomFlexi akan melebarkan sayapnya ke Denpasar, Balikpapan dan kota-kota lain di Indonesia yang masih kesulitan dalam menambah nomor baru. Pihak Samsung mendapat kontrak senilai 14,7 juta dollar AS untuk membangun 40.000 SST, termasuk 16 BTS CDMA 2000-1X untuk TelkomFlexi, 10 BTS di antaranya, untuk Surabaya. Dari jumlah itu, termasuk 10.000 untuk Denpasar dan 5.000 untuk Balikpapan. Proyek T-21 paket kedua, PT Telkom sendiri akan membangun 802.000 SST fixed wireless dengan teknologi berbasis CDMA 2000-1X.
Pelanggan TelkomFlexi harus menyediakan sendiri terminal handset-nya, yang kini diperkirakan harganya sekitar Rp 1,3 juta sampai Rp 3 juta per buah. Selain terminal, pelanggan di Surabaya juga harus membayar biaya pasang baru yang ditetapkan sebesar Rp 150.000 per SST, sama dengan tarif pasang baru dan biaya bulanan (abonemen) segmen bisnis. PT Telkom menyarankan calon pelanggan agar membeli handset yang khusus triband yang bisa bekerja pada frekuensi 800 MHz, 1.800 MHz, dan 1.900 MHz. Terminal lama milik pelanggan C-Phone di Surabaya masih bisa digunakan meskipun beberapa layanan yang diberikan oleh TelkomFlexi tidak bisa difungsikan di terminal ini.
Menurut Kepala Fixed Wireless PT Telkom Alex Sinaga, himbauan tadi perlu disampaikan karena ternyata PT Telkom terpaksa menggunakan dua frekuensi untuk operasional CDMA-nya, yaitu di 800 MHz dan 1.900 MHz. Frekuensi 800 digunakan untuk daerah luar Jakarta, Jawa Barat, dan Banten, karena di tiga daerah itu PT Telkom mendapat frekuensi 1900 MHz, akibat pemilik frekuensi 800 enggan berbagi dengan PT Telkom. Untuk Divisi Regional II Jakarta, CDMA-1X akan mulai dioperasikan pada triwulan pertama tahun 2003, dengan jumlah awal sebanyak 90.000 SST. Terminal CDMA 2000-1X itu akan bisa digunakan untuk bergerak di wilayah kode areanya.
Meski wilayah Divre II Jakarta meliputi juga Bogor, Purwakarta, Karawang, dan Serang, terminal berkode area nomor 021 tidak bisa digunakan di area lain, misalnya Bogor (0251). Wilayah cakupan 021 pun, dibagi lima sesuai wilayah kantor daerah telekomunikasi (kandatel) plus sebagian Datel Bekasi dan Tangerang, sepanjang masih menggunakan kode area 021. Penggunaan di luar wilayah tadi dikenai biaya mutasi sebesar Rp 50 per menit. Tapi biaya ini, lagi-lagi, masih murah dibanding telepon tetap.
Perluasan operasional CDMA 2000-1X sebagai fixed cellular yang bisa digunakan untuk bergerak itu meresahkan operator seluler, sebab akan terjadi persaingan tajam antarkeduanya. CDMA yang dioperasikan PT Telkom diramalkan akan bisa merebut hati masyakarat, antara lain karena pulsanya lokal, sekitar separuh tarif airtime seluler. Apalagi, data dari operator seluler menyebutkan, sekitar 90 persen pengguna seluler tidak pernah keluar dari areanya dan lebih banyak menggunakan ponselnya untuk panggilan lokal. Persaingan akan makin tajam dan pasti akan mendapat protes keras dari Asosiasi Telepon Seluler Indonesia (ATSI), apalagi kalau CDMA bisa digunakan antarkode area.
Konon, di frekuensi 1900 MHz masih tersedia pita 20 MHz. Pihak PT Telkom akan mendapatkan 10 MHz, sisanya digunakan PT Indosat yang juga mengoperasikan CDMA 2000-1X, dan satu operator baru. Sebelumnya, di frekuensi 1900 ini sudah beroperasi C-phone di Surabaya yang menggunakan teknologi CDMA dan PHS (personal handyphone system) di Jakarta. PHS ini dioperasikan secara terbatas dengan jumlah sementara 1.000 SST di sekitar Bintaro, Blok M, dan Istana Presiden. Sama dengan sifat CDMA 2000-1X, PHS ini juga berupa fixed cellular dengan mobilitas di jangkauan BTS-nya.
Bagi konsumen, perkembangan demikian jelas akan menguntungkan karena tersedia sejumlah alternatif pilihan. Bagi para vendor, mulai beroperasinya teknologi CDMA fixed cellular juga membuka peluang bisnis baru: menyediakan terminal. Bahkan, disebut-sebut sejumlah pemain baru pun ikut nimbrung dengan memunculkan produk-produk terbarunya. Akankah terjadi kanibalisme antar operator telekomunikasi?
0 komentar:
Posting Komentar