Kabel Laut Regional, Prasarana SLI
KADANG kala kita merasa pemerintah ini
aneh dalam mengambil kebijakan yang sesekali malah tidak sejalan dengan niat
dan kebijakan sebelumnya atau lamban dalam menyikapi kemajuan, utamanya dalam
masalah telekomunikasi. Entah karena mungkin sektor telekomunikasi, lewat
BUMN-nya, PT Telkom, yang memberi kontribusi terbesar kepada negara dari
dividen dibanding BUMN lainnya, atau pemerintah masih saja terpukau pada
pertumbuhan telekomunikasi dunia yang begitu pesat, tercepat dibanding
pertumbuhan apa pun ciptaan manusia yang ada.
KETIKA Undang-Undang Nomor 36 Tahun
1999 tentang Telekomunikasi mengamanatkan adanya kompetisi, pemerintah justru
mencanangkan kompetisi terbatas dalam bentuk duopoli yang sekaligus menghambat
terbukanya bisnis telekomunikasi dari investor luar. Sebetulnya bisa dipahami,
sebab PT Telkom dan PT Indosat (waktu itu) masih dianggap bayi yang masih
rentan terhadap virus kompetisi yang acapkali sangat ganas karena sudah
terbiasa dilindungi dalam bentuk monopoli.
Padahal, kompetisi akan membuat masyarakat
punya pilihan dan selalu ada bandingan sehingga operator akan berupaya memberi
layanan yang terbaik. Namun, untuk tahap awal boleh jugalah. Belum kompetisi,
tetapi tidak lagi monopoli dalam bentuk duopoli. Siapa tahu nanti ke depan ada
yang berhasil mempengaruhi para pengambil keputusan sehingga tahapan
selanjutnya sebelum adanya kompetisi diperkenalkan tripoli, bisnis
telekomunikasi dijalankan oleh tiga operator pemegang lisensi yang sama.
Dengan dasar pemikiran belum
mature-nya PT Telkom dan PT Indosat ini, pemerintah lalu menggenjot duopoli
dengan melakukan restrukturisasi. Bentuknya antara lain penyelesaian masalah
kepemilikan bersama (cross ownership) antara PT Telkom dan PT Indosat. Walau
tersandung-sandung-karena memang skenarionya demikian-cross ownership akhirnya
bisa tuntas dan kini masing- masing dapat mainan sendiri, meski pada
perkembangannya hampir separuh saham Indosat dikuasai Singapore
Telecommunications Technologies (STT).
PT Indosat sendiri melakukan
strukturisasi internal dengan melakukan merger atas dua anak perusahaannya, PT
Satelindo dan PT Indosat Multi Media Mobile (IM3). Dengan merger ini, tidak
dikenal lagi Satelindo atau IM3, kecuali produknya, Matrix, Mentari, Smart, dan
Bright sebagai produk seluler Indosat.
Bisnis satelit Satelindo juga masuk ke
jajaran Indosat, demikian pula bisnis sambungan langsung internasional (SLI
008) yang semula sempat bersaing dengan produk sama di Indosat, SLI 001, dan
kini dikendalikan sendirian oleh PT Indosat. Ini justru yang menjadi kegelisahan
karena kurang cepatnya pemerintah memutuskan tindakannya. Pada saat duopoli
dihangatkan dan hampir klimaks, kenyataannya kini di bisnis SLI justru terjadi
monopoli kembali dengan dikuasainya dua lisensi SLI oleh PT Indosat.
Dengan tetap berjalannya monopoli di
akses SLI oleh PT Indosat, maka investasi yang dilakukan operator lain, dalam
hal ini PT Telkom, akan menjadi mubazir. Padahal, dengan dimilikinya lisensi
sebagai operator SLI oleh PT Telkom, masyarakat akan memiliki pilihan layanan
untuk sambungan ke luar negeri.
PT Telkom yang sejak Agustus 2002
sudah dicanangkan akan masuk ke bisnis SLI yang diundur hingga Agustus 2003,
diundur lagi, hingga kini belum mendapat lisensi SLI-nya. PT Telkom memang
secara nyata menjalankan bisnis SLI lewat VoIP (voice over Internet protocol)
dan bukannya SLI. Selain itu, PT Telkom juga menyelenggarakan sambungan lintas
batas (bordercom) antara Batam dan Singapura serta dengan Johor (Malaysia)
dengan menggunakan prasarana radio gelombang mikro (microwave). Tetapi, VoIP
dan lintas batas itu konon di telekomunikasi tidak digolongkan sebagai bisnis
SLI.
Kelambanan inilah yang tampaknya
menggelisahkan PT Telkom, sebab mereka sudah menyiapkan sarana dan prasarana
untuk SLI jauh-jauh hari, tetapi belum dapat digunakan secara resmi. Kini,
untuk hubungan internasional, selain lewat TelkomSave dan TelkomGlobal (VoIP)
serta bordercom, mereka juga sudah membangun prasarana berupa jaringan kabel
laut bersama-sama Singapura (SingTel) dan Thailand (CAT/ Communication
Authority of Thailand).
Bagi PT Telkom, hanya tinggal
selangkah lagi untuk masuk ke bisnis sambungan langsung internasional dengan
memiliki semua prasarana yang ada, termasuk satelit Palapa dan Telkom-1. Namun,
tampaknya sistem komunikasi kabel laut (SKKL) akan jauh lebih bagus daripada
menggunakan satelit, apalagi kabel lautnya memakai serat optik.
Komunikasi lewat satelit, menurut
Janto Warjanto, Kepala Divisi Long Distance PT Telkom, ada beberapa kendala,
antara lain adanya penundaan (delay) dan kapasitasnya yang jauh lebih rendah
dari kabel laut. Tiap transponder-satelit rata-rata punya 24 atau 36
transponder-kapasitasnya paling tinggi hanya 36 megahertz (MHz), sementara
kabel laut hitungannya dalam orde giga dan selembar serat optik minimal
berkapasitas 155 MHz.
Direktur Utama PT Telkom Kristiono
mengungkapkan, pihaknya berhasil menggelar jaringan kabel laut serat optik dari
Batam sampai Thailand (Songkhla), mampir di Changi (Singapura), sepanjang 1.035
km lebih. Proyek yang dinamakan TIS (Thailand, Indonesia, Singapura) dan
menelan biaya sampai 36 juta dollar AS ini diselesaikan pembangunannya pada 26
November lalu.
Proyek ini diresmikan Selasa (2/12)
kemarin di Batam, yang dihadiri selain oleh Kristiono juga oleh CEO (Chief
Executive Officer) Singapore Telecom Lee Hsien Yang dan EVP (Executive Vice
President) CAT Dr Kittin Udon. Pada kesempatan itu, Menteri Perhubungan
(Menhub) Agum Gumelar melakukan percakapan internasional dari Jakarta dengan
Duta Besar Indonesia untuk Thailand.
Sekaligus sore itu juga lewat konferensi
jarak jauh dari Jakarta Menhub meresmikan hasil pembangunan baru PT Telkom,
jaringan SKSO (sistem komunikasi serat optik) HPBB (High Performance Back Bone)
Sumatera. Jaringan itu melintang sepanjang hampir 3.000 km meniti jalur dari
Medan, Pekanbaru, Jambi, Palembang, dan Bandarlampung hingga Jakarta, Semanggi,
lewat Kalianda-Ciwandan-Cikupa yang biayanya mencapai Rp 650 miliar. Biaya itu
juga termasuk pembangunan jalur SKSO Pekanbaru-Dangas (Batam), Pekanbaru-Dumai,
dan Dumai-Batam.
Jaringan serat optik HPBB Sumatera ini
dalam operasinya menggunakan teknik modulasi DWDM (dense wavelength division
multiplexing). Ia berfungsi sebagai sarana transpor untuk menghubungkan
jaringan tulang punggung Jawa (Java Back Bone) dengan jaringan tulang punggung
Sumatera. Jaringan ini juga merupakan transpor utama untuk SLI dan data paket.
Beda dengan proyek pembangunan TIS
yang merupakan kerja sama internasional dan menggunakan kabel laut serat optik
buatan NEC Jepang, proyek SKSO HPBB Sumatera ini menggunakan kabel serat optik
buatan Pirelli, Italia. Selain NEC dan Pirelli, pemasok kabel laut handal di
dunia antara lain Alcatel, yang kabelnya digunakan untuk jaringan SEA-ME-WE
(South East Asia-Middle East-West Europe), di mana PT Indosat juga ikut
konsorsiumnya dan turut memiliki saham.
Kristiono memandang perlu bagi
Indonesia untuk membangun sendiri serat optik kabel bawah lautnya, yang
memiliki nilai strategis bagi BUMN itu sebagai operator SLI nantinya. Ini
merupakan akses ke jaringan internasional, sementara koneksi ke bagian lain
dunia bisa dilakukan dengan menyewa kabel milik operator atau konsorsium lain,
atau dengan program pemilikan dan membeli hak pakai kabel laut yang ada.
Menurut catatan, dari biaya
pembangunan proyek TIS yang 36 juta dollar AS itu, Indonesia menanggung
sepertiganya. Ini merupakan kerja sama ketiga negara yang sayangnya tidak
diikuti oleh Malaysia yang berada di antara Singapura dan Thailand. Pendekatan
sebenarnya sudah dilakukan dan ada ide mengundang serta Malaysia, namun mereka
tidak segera tercapai kesepakatan, sementara kebutuhan sudah mendesak.
Bagi operator telekomunikasi di mana
saja, untuk akses ke bagian dunia lain, seperti ke Eropa, Amerika, atau
Australia, tidak bisa bergantung pada satu rute, misalnya lewat TIS terus ke
Hongkong dan ke Amerika lalu mengitari Bumi untuk ke Eropa. "Rute
dipisahkan berdasarkan jurusan dan aksesnya ke banyak jaringan, tidak cuma
lewat Singapura," kata Kristiono.
Pemilikan kabel laut untuk akses
internasional, menurut Kristiono, sangat strategis bagi perusahaan yang
dipimpinnya itu. Tidak hanya untuk SLI, tetapi juga untuk transpor data dan
IPLC (international private lease channel), apalagi kecenderungannya kini
perusahaan-perusahaan multinasional menghendaki jaringan telekomunikasi data
yang berkapasitas besar. "Jaringan kabel laut serat optik TIS ini
merupakan batu lompatan (stepping stone) bagi PT Telkom untuk akses ke bisnis
internasional," katanya. Tanpa memiliki akses ke jaringan internasional,
sulit bagi PT Telkom untuk masuk ke bisnis sambungan internasional yang selama
ini hanya dimiliki oleh PT Indosat.
Ia yakin jaringan kabel lautnya bisa
segera dimanfaatkan masyarakat karena sewa per E-1 (E-one) TIS akan jauh lebih
murah dibanding menyewa E-1 pemilik jaringan lain, termasuk milik PT Indosat.
Saat ini malah banyak ISP (Internet service provider/penyedia jasa Internet) di
Indonesia yang menyewa jaringan langsung dari AS yang per E-1 harganya 5.000
dollar AS sampai 10.000 dollar AS. "Dengan adanya TIS, para pemilik ISP
mempunyai pilihan sehingga tak perlu menyewa kepada orang lain," kata
Kristiono.
Menurut pengetahuannya, dari semua
biaya yang ditanggung ISP, biaya terbesar adalah sewa untuk akses internasional
dan TIS menawarkan harga yang bersaing. Kalau sewa akses turun ISP dapat
meningkatkan bisnis Internetnya karena tarif ke pelanggan juga dapat
diturunkan. "Jadinya, pembangunan jaringan akses internasional ini bukan
cuma untuk kepentingan PT Telkom saja," katanya pula.
Meski hanya memiliki jaringan akses
sepanjang 1.035 km bersama Singapura dan Thailand, PT Telkom juga tetap harus
dapat masuk ke jaringan ke bagian lain dunia ini, tetapi cukup dengan cara
menyewa. Saat ini banyak sekali pemilik jaringan kabel laut sehingga bagi PT
Telkom lebih mudah karena dapat memilih mana yang paling murah.
Apalagi di dunia sudah terjadi
investasi berlebihan di jaringan kabel laut sehingga malah banyak perusahaan
yang bangkrut seperti di Amerika dan jaringan global. Meski demikian, saat ini
kabel laut di Asia Pasifik relatif belum besar sehingga pasar untuk TIS, misalnya,
masih baik.
Kristiono mengaku masih menunggu
pemerintah mengeluarkan lisensi SLI kepada PT Telkom sehingga jaringan kabel
lautnya dapat segera dimanfaatkan, meski saat ini sudah untuk kanal sewa. Ia
yakin pemerintah sebelum mengeluarkan lisensi ingin duopoli berada dalam aturan
yang menyeluruh dan utuh agar kompetisi ke depan dapat berjalan dengan lebih
baik.
Kompetisi, katanya, membutuhkan
situasi yang fair dan transparan sehingga masyarakat juga yang diuntungkan. Ia
juga diberi tahu bahwa rancangan aturan sudah siap sehingga sebenarnya bisa
segera ditetapkan dan tidak mundur lagi dari tahun ini seperti terjadi dua kali
sebelumnya. "Tinggal tunggu disemprit (dibunyikan peluit)," kata
Kristiono.
MENURUT Janto Warjanto, kapasitas
kabel laut TIS yang kini sudah digunakan ini mencapai 30 giga dan PT Telkom
mendapat bagian sepadan (equal) dengan 20 giga. "Ini sudah cukup banyak
sampai 10 tahun ke depan, sebab kebutuhan saat ini hanya sekitar 2,5
giga," kata mantan Direktur Internasional PT Satelindo itu.
Bagi PT Telkom, kata Janto, bisa saja
masing-masing anggota TIS tidak membangun sendiri, melainkan menyewa kapasitas.
Namun, kenyataan di dunia komunikasi kabel laut tak ada pemilik kabel yang
menyewakan kapasitas sebesar itu.
Menurut dia, jika harga sewa tidak
turun karena persaingan yang makin ketat akibat makin banyak kapasitas
tersedia, dalam waktu tiga tahun modal pembangunan akan dapat kembali. Apalagi
dewasa ini banyak perusahaan besar yang sudah mulai menghendaki kapasitas besar
sampai 2 megabit per detik, tidak lagi cukup hanya dengan 64 kilobit seperti
yang disediakan PT Telkom selama ini.
Dengan adanya TIS ini, otomatis
performansi pengiriman data lewat PT Telkom akan membaik dari saat ini yang
masih rendah. Hal itu akan menguntungkan masyarakat, terutama pelanggan
korporasi yang memiliki akses ke luar negeri.
Untuk sementara, TIS ini sudah memadai
bagi PT Telkom karena untuk akses ke bagian dunia lain dapat menyewa kapasitas
dari Hongkong, baik untuk ke Amerika atau ke Eropa. Bahkan, ke Australia pun
sambungan telepon dapat disalurkan lewat Singapura, Malaysia, atau Hongkong dan
PT Telkom dapat memilih yang paling handal dan paling murah.
Ke Hongkong, PT Telkom menyewa sebesar
2 STM-1 (synchronous transfer mode) yang berkapasitas masing-masing 155 megabit
per detik. Tiap 1 STM-1 sama dengan 63 E-1 yang tiap E-1 ada 30 port. Hongkong
diakui merupakan titik interkoneksi ke jaringan global, tidak cuma ke AS,
tetapi juga ke Cina, Jepang, Eropa dan Australia.
Meski TIS sudah memadai, PT Telkom
tetap akan membangun akses ke jaringan internasional lewat barat yang akan
mulai dibangun antara Dumai (Riau) dan Melaka (Malaysia). Selain ke Singapura,
yang merupakan akses terpendek ke mancanegara dari Indonesia, jalur
Dumai-Melaka juga pendek, hanya sekitar 115 km saja. Dari sini akses ke dunia
luar bisa masuk ke Sea-Me-We3 atau jaringan kabel laut yang lain.
Dikatakan, perkembangan saat ini,
jaringan kabel komunikasi tidak lagi model star yang bercabang-cabang,
melainkan ring, dan di domestik PT Telkom sudah menerapkan tujuh ring. Di
internasional, dengan ring kita tidak bergantung pada satu negara atau jaringan
karena akses bisa dilewatkan ke mana saja sehingga jika terjadi apa-apa dengan
satu negara atau jaringan, pemakai jasa tidak dirugikan dan hubungan tak
terputus.
Untuk akses internasional ini, selain
jaringan domestik masuk lewat Batam-TIS terus ke Hongkong, dapat juga
Batam-Dumai-Melaka terus ke Eropa lewat Timur Tengah. "TIS dan DMCS
(sistem kabel laut Dumai-Melaka) akan menjadi tulang punggung (backbone)
telekomunikasi internasional ASEAN," tutur Janto. (MOCH S HENDROWIJONO)
0 komentar:
Posting Komentar