Another Source

Jumat, 03 Februari 2012

Giliran CDMA berbicara

Oleh : Agus S.Riyanto, Julianto dan Wisnu Arto Subari


SERU nian persaingan antara teknologi code division multiple access (CDMA) dan global system for mobile communications (GSM) di ranah seluler. Saat ini, CDMA memang masih berada di bawah bayang-bayang GSM yang dipakai oleh lebih dari 1 miliar pengguna di seluruh dunia. Namun, tren memperlihatkan betapa pengguna seluler (dan fix wireless access alias FWA) berbasis teknologi CDMA terus mengalami pertumbuhan.
Berdasarkan laporan CDMA Development Group (CDG), pengguna CDMA di dunia selama kuartal II 2006 tumbuh 24%. Jadi pemakai CDMA sekarang sudah sebanyak 335 juta orang. Hingga tahun 2010 ke depan, diperkirakan akan ada 41% pengguna telepon tanpa kabel di seluruh dunia yang memakai teknologi CDMA.
       Di Indonesia? Ketika PT Telkom meluncurkan Flexi tiga tahun lalu, pelanggan GSM telah mencapai 14,5 juta. Kini jumlah pelanggan GSM diperkirakan 40 juta orang. Total pelanggan CDMA sendiri sudah melewati angka tujuh juta. Angka itu disumbangkan Flexi sebanyak lima juta pelanggan, Fren dari Mobile-8 (1,3 juta), Esia dari Bakrie Telecom (1,3 juta), dan StarOne dari Indosat (250 ribu). Sebenarnya, angka itu masih bisa bertambah jika Indosat tidak ogah-ogahan mengelola StarOne.

Sudah, lupakan saja dulu Indosat. Toh, angka-angka itu masih akan bertambah. Sebab, jumlah    pengguna seluler di sini belum sebanding dengan jumlah penduduk. Menurut riset Reuters, calon pengguna ponsel di Indonesia masih ada 100 juta orang!
Para operator CDMA juga memanfaatkan benar potensi pasar yang begitu luas ini. PT Mobile-8 Telecom, misalnya. Pemilik Fren ini telah ancang-ancang melakukan pengerukan dana publik setelah Lebaran. Sebagai langkah awal, PT Mobile-8 akan menjual 3,9 miliar saham dengan nilai nominal cepek.
      Menurut Herman Then Kek Khian, Head of marketing PT Mobile-8, sebanyak 57% hasil jualan saham itu akan dialokasikan untuk pengembangan infrastruktur. Termasuk memperbesar jaringan di Jawa, Bali, dan Madura dan selanjutnya merambah ke Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi. Akhir 2007, Fren sudah menjadi operator nasional, ucap Herman.
Tak hanya berhalo-halo dan kirim SMS. Fren juga mempermudah pelanggannya mengakses internet, bahkan dengan kecepatan 40 kali lebih baik dari kecepatan teknologi GSM. Soalnya, Mobile-8 didukung teknologi CDMA 2000-1X RTT atau radio transmission technology satu kali dan CDMA 2000-1X evolution data optimizer (EVDO). Akses internet ini bisa dinikmati tanpa tergantung jaringan telepon rumah (public switch telephone network/PSTN) untuk dial-up. Jadi, layanan internet itu bisa dinikmati dalam keadaan bergerak (wireless) dengan notebook.
      CDMA 2000 1X juga lebih murah investasinya karena secara bersamaan bisa untuk mendukung suara dan data. Mobile-8 juga hanya perlu membangun sel (BTS) yang sedikit dan membangunnya pun lebih cepat. Kini, Fren baru mampu menggaet 1,3 juta pelanggan. Target ke depan? Herman baru bersedia mengutarakan setelah IPO.
      Peningkatan jumlah pelanggan juga dialami oleh Telkom Flexi. Menurut M. Awaluddin, Vice President Public & Marketing Communication PT Telkom, prospek Flexi sebesar 20 juta pelanggan. Target tahun ini 6,5 juta dan sekarang baru lima juta pelanggan, kata dia.
Tampaknya, target itu akan tercapai karena Flexi sedang gencar melakukan penetrasi ke pasar. Saat ini Flexi sudah berada di 235 kota dengan 153 kode area. Hal itu akan terus tumbuh sejalan dengan pembangunan BTS-BTS di kawasan timur Indonesia. Bahkan, Flexi akan dijadikan mesin uang bagi Telkom. Alasannya, Telkom tak bisa hanya mengandalkan PSTN semata.
Keunggulan CDMA juga berimbas pada Esia. Produk CDMA lansiran Bakrie Telecom ini tahun lalu hanya mampu menjaring 487 ribu pelanggan. Hingga September ini angkanya melonjak jadi 1,3 juta pelanggan. Akibatnya, tahun ini target kita revisi menjadi 1,5 juta pelanggan, kata Rahmad Junaidi, Direktur Bakrie Telecom.
      Peningkatan target itu dilakukan dengan menambah BTS yang dimilikinya. Hingga kini, Esia didukung lebih dari 400 BTS. Selain itu, Bakrie Telecom menyediakan dana sebesar Rp 1 triliun untuk mendukung pengembangan Esia.

                                   BERSAING MENGUNTUNGKAN KONSUMEN
      Indonesia memang termasuk negara yang paling awal mengenal CDMA di kawasan Asia Pasifik. Dimulai dengan peluncuran layanan telepon C-Phone (cordless-phone) tahun 1999 oleh Telkom di wilayah Surabaya, Sidoarjo, dan Gresik. Sayangnya, pemasaran C-Phone jeblok dan hanya menjala sekitar 8.000 pelanggan.
      Perkembangan CDMA dimulai ketika Telkom memperkenalkan Flexi pada Desember 2002 dan secara komersial diluncurkan Mei 2003. Flexi merupakan layanan telepon tetap nirkabel alias FWA. Pada September 2003, jejak Flexi diikuti oleh Ratelindo yang berubah wujud menjadi Bakrie Telecom dengan merek dagang Esia. Nah, Esia yang juga FWA ini menempati frekuensi warisan dari Ratelindo, yakni di 800 MHz. Pada Juli 2004, Indosat meluncurkan StarOne yang juga telepon tetap nirkabel.
CDMA dengan lisensi seluler hadir pertama kali lewat tangan Mobile-8 pada Desember 2003 dengan produknya, Fren. Setelah itu, barulah muncul PT Mandara Seluler Indonesia yang meluncurkan produknya, Neo_n, pada Mei 2004. Sejak 2006, PT Mandara diakuisisi kelompok usah Putera Sampoerna, dan berubah nama menjadi PT Sampoerna Telecom Indonesia. Nama produknya pun berganti menjadi Ceria. Sayang, Ceria sekarang hanya bertebaran di Provinsi Lampung.
Jadi, masuk akal jika pelanggan CDMA bakal melonjak nantinya. Apalagi kalau operator CDMA kemudian bisa mendapatkan lisensi 3G. Soalnya, menurut seorang pakar telekomunikasi, teknologi CDMA sebenarnya lebih mudah dan lebih murah dalam mengaplikasi layanan 3G.
Selain itu, CDMA juga punya tarif lebih murah dibanding GSM. Kualitas suara CDMA juga lebih jernih dan daya pancarnya lebih kuat. Transfer data lewat CDMA juga lebih cepat.
      Memang, ada sejumlah operator CDMA yang melakoni jasa FWA, yang terhadang ekspansinya oleh kendala jangkauan yang terbatas. Namanya juga FWA, tentu tak bisa ditenteng ke luar kota. Aturan soal jangkauan FWA itu diatur dalam Surat Keputusan Menteri Perhubungan No. 35 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Jaringan Tetap Lokal tanpa Kabel.
      Aturan itu bisa diakali oleh Flexi. Mulai Agustus lalu, Flexi meluncurkan fitur Combo. Fitur ini memungkinkan pelanggan yang menggunakan nomor Jakarta (021) bisa mengaktifkan nomor temporer di kota lain seusai pilihannya. Setiap panggilan yang masuk ke nomor temporer tersebut dikenakan biaya Rp 250 per 30 detik.
      Tentu saja, fitur ini ditentang oleh banyak pihak. Alasannya, FWA jadi mempunyai keleluasaan seperti seluler. Dan itu melanggar aturan Menteri Perhubungan tadi.
      Kontroversi itu coba ditengahi oleh Menteri Komunikasi dan Informasi Sofyan Djalil. Kini, pemerintah akan menyetarakan teknologi CDMA dan GSM dengan mencabut keputusan Menteri Perhubungan tersebut. Langkah ini dilakukan agar persaingan di industri telekomunikasi bergerak lebih kompetitif. Dengan begitu, tarif telekomunikasi menjadi lebih murah, kata Sofyan.
Bila aturan itu diubah, maka operator GSM juga punya keuntungan. Saat ini, biaya frekuensi yang ditanggung oleh operator GSM bisa mencapai 13 kali lebih mahal dibandingkan dengan operator CDMA. Nantinya, tentu saja biaya itu bisa dikurangi.
       Selain itu, sistem interkoneksi akan dibuka lebih lebar sehingga satu operator bisa memiliki izin untuk layanan teknologi CDMA dan GSM sekaligus. Selama ini, pola tersebut memang belum memungkinkan.
Nah, kalau sudah ada penyetaraan tadi, maka persaingan antara CDMA dan GSM tentu akan semakin ramai. Ujung-ujungnya, masyarakat bisa diuntungkan dengan memperoleh tarif komunikasi murah dan bermutu.





0 komentar:

Posting Komentar