Another Source

Jumat, 03 Februari 2012

Kabel Laut Regional, Prasarana SLI


Kabel Laut Regional, Prasarana SLI
KADANG kala kita merasa pemerintah ini aneh dalam mengambil kebijakan yang sesekali malah tidak sejalan dengan niat dan kebijakan sebelumnya atau lamban dalam menyikapi kemajuan, utamanya dalam masalah telekomunikasi. Entah karena mungkin sektor telekomunikasi, lewat BUMN-nya, PT Telkom, yang memberi kontribusi terbesar kepada negara dari dividen dibanding BUMN lainnya, atau pemerintah masih saja terpukau pada pertumbuhan telekomunikasi dunia yang begitu pesat, tercepat dibanding pertumbuhan apa pun ciptaan manusia yang ada.
KETIKA Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi mengamanatkan adanya kompetisi, pemerintah justru mencanangkan kompetisi terbatas dalam bentuk duopoli yang sekaligus menghambat terbukanya bisnis telekomunikasi dari investor luar. Sebetulnya bisa dipahami, sebab PT Telkom dan PT Indosat (waktu itu) masih dianggap bayi yang masih rentan terhadap virus kompetisi yang acapkali sangat ganas karena sudah terbiasa dilindungi dalam bentuk monopoli.
Padahal, kompetisi akan membuat masyarakat punya pilihan dan selalu ada bandingan sehingga operator akan berupaya memberi layanan yang terbaik. Namun, untuk tahap awal boleh jugalah. Belum kompetisi, tetapi tidak lagi monopoli dalam bentuk duopoli. Siapa tahu nanti ke depan ada yang berhasil mempengaruhi para pengambil keputusan sehingga tahapan selanjutnya sebelum adanya kompetisi diperkenalkan tripoli, bisnis telekomunikasi dijalankan oleh tiga operator pemegang lisensi yang sama.
Dengan dasar pemikiran belum mature-nya PT Telkom dan PT Indosat ini, pemerintah lalu menggenjot duopoli dengan melakukan restrukturisasi. Bentuknya antara lain penyelesaian masalah kepemilikan bersama (cross ownership) antara PT Telkom dan PT Indosat. Walau tersandung-sandung-karena memang skenarionya demikian-cross ownership akhirnya bisa tuntas dan kini masing- masing dapat mainan sendiri, meski pada perkembangannya hampir separuh saham Indosat dikuasai Singapore Telecommunications Technologies (STT).
PT Indosat sendiri melakukan strukturisasi internal dengan melakukan merger atas dua anak perusahaannya, PT Satelindo dan PT Indosat Multi Media Mobile (IM3). Dengan merger ini, tidak dikenal lagi Satelindo atau IM3, kecuali produknya, Matrix, Mentari, Smart, dan Bright sebagai produk seluler Indosat.
Bisnis satelit Satelindo juga masuk ke jajaran Indosat, demikian pula bisnis sambungan langsung internasional (SLI 008) yang semula sempat bersaing dengan produk sama di Indosat, SLI 001, dan kini dikendalikan sendirian oleh PT Indosat. Ini justru yang menjadi kegelisahan karena kurang cepatnya pemerintah memutuskan tindakannya. Pada saat duopoli dihangatkan dan hampir klimaks, kenyataannya kini di bisnis SLI justru terjadi monopoli kembali dengan dikuasainya dua lisensi SLI oleh PT Indosat.
Dengan tetap berjalannya monopoli di akses SLI oleh PT Indosat, maka investasi yang dilakukan operator lain, dalam hal ini PT Telkom, akan menjadi mubazir. Padahal, dengan dimilikinya lisensi sebagai operator SLI oleh PT Telkom, masyarakat akan memiliki pilihan layanan untuk sambungan ke luar negeri.
PT Telkom yang sejak Agustus 2002 sudah dicanangkan akan masuk ke bisnis SLI yang diundur hingga Agustus 2003, diundur lagi, hingga kini belum mendapat lisensi SLI-nya. PT Telkom memang secara nyata menjalankan bisnis SLI lewat VoIP (voice over Internet protocol) dan bukannya SLI. Selain itu, PT Telkom juga menyelenggarakan sambungan lintas batas (bordercom) antara Batam dan Singapura serta dengan Johor (Malaysia) dengan menggunakan prasarana radio gelombang mikro (microwave). Tetapi, VoIP dan lintas batas itu konon di telekomunikasi tidak digolongkan sebagai bisnis SLI.
Kelambanan inilah yang tampaknya menggelisahkan PT Telkom, sebab mereka sudah menyiapkan sarana dan prasarana untuk SLI jauh-jauh hari, tetapi belum dapat digunakan secara resmi. Kini, untuk hubungan internasional, selain lewat TelkomSave dan TelkomGlobal (VoIP) serta bordercom, mereka juga sudah membangun prasarana berupa jaringan kabel laut bersama-sama Singapura (SingTel) dan Thailand (CAT/ Communication Authority of Thailand).
Bagi PT Telkom, hanya tinggal selangkah lagi untuk masuk ke bisnis sambungan langsung internasional dengan memiliki semua prasarana yang ada, termasuk satelit Palapa dan Telkom-1. Namun, tampaknya sistem komunikasi kabel laut (SKKL) akan jauh lebih bagus daripada menggunakan satelit, apalagi kabel lautnya memakai serat optik.
Komunikasi lewat satelit, menurut Janto Warjanto, Kepala Divisi Long Distance PT Telkom, ada beberapa kendala, antara lain adanya penundaan (delay) dan kapasitasnya yang jauh lebih rendah dari kabel laut. Tiap transponder-satelit rata-rata punya 24 atau 36 transponder-kapasitasnya paling tinggi hanya 36 megahertz (MHz), sementara kabel laut hitungannya dalam orde giga dan selembar serat optik minimal berkapasitas 155 MHz.
Direktur Utama PT Telkom Kristiono mengungkapkan, pihaknya berhasil menggelar jaringan kabel laut serat optik dari Batam sampai Thailand (Songkhla), mampir di Changi (Singapura), sepanjang 1.035 km lebih. Proyek yang dinamakan TIS (Thailand, Indonesia, Singapura) dan menelan biaya sampai 36 juta dollar AS ini diselesaikan pembangunannya pada 26 November lalu.
Proyek ini diresmikan Selasa (2/12) kemarin di Batam, yang dihadiri selain oleh Kristiono juga oleh CEO (Chief Executive Officer) Singapore Telecom Lee Hsien Yang dan EVP (Executive Vice President) CAT Dr Kittin Udon. Pada kesempatan itu, Menteri Perhubungan (Menhub) Agum Gumelar melakukan percakapan internasional dari Jakarta dengan Duta Besar Indonesia untuk Thailand.
Sekaligus sore itu juga lewat konferensi jarak jauh dari Jakarta Menhub meresmikan hasil pembangunan baru PT Telkom, jaringan SKSO (sistem komunikasi serat optik) HPBB (High Performance Back Bone) Sumatera. Jaringan itu melintang sepanjang hampir 3.000 km meniti jalur dari Medan, Pekanbaru, Jambi, Palembang, dan Bandarlampung hingga Jakarta, Semanggi, lewat Kalianda-Ciwandan-Cikupa yang biayanya mencapai Rp 650 miliar. Biaya itu juga termasuk pembangunan jalur SKSO Pekanbaru-Dangas (Batam), Pekanbaru-Dumai, dan Dumai-Batam.
Jaringan serat optik HPBB Sumatera ini dalam operasinya menggunakan teknik modulasi DWDM (dense wavelength division multiplexing). Ia berfungsi sebagai sarana transpor untuk menghubungkan jaringan tulang punggung Jawa (Java Back Bone) dengan jaringan tulang punggung Sumatera. Jaringan ini juga merupakan transpor utama untuk SLI dan data paket.
Beda dengan proyek pembangunan TIS yang merupakan kerja sama internasional dan menggunakan kabel laut serat optik buatan NEC Jepang, proyek SKSO HPBB Sumatera ini menggunakan kabel serat optik buatan Pirelli, Italia. Selain NEC dan Pirelli, pemasok kabel laut handal di dunia antara lain Alcatel, yang kabelnya digunakan untuk jaringan SEA-ME-WE (South East Asia-Middle East-West Europe), di mana PT Indosat juga ikut konsorsiumnya dan turut memiliki saham.
Kristiono memandang perlu bagi Indonesia untuk membangun sendiri serat optik kabel bawah lautnya, yang memiliki nilai strategis bagi BUMN itu sebagai operator SLI nantinya. Ini merupakan akses ke jaringan internasional, sementara koneksi ke bagian lain dunia bisa dilakukan dengan menyewa kabel milik operator atau konsorsium lain, atau dengan program pemilikan dan membeli hak pakai kabel laut yang ada.
Menurut catatan, dari biaya pembangunan proyek TIS yang 36 juta dollar AS itu, Indonesia menanggung sepertiganya. Ini merupakan kerja sama ketiga negara yang sayangnya tidak diikuti oleh Malaysia yang berada di antara Singapura dan Thailand. Pendekatan sebenarnya sudah dilakukan dan ada ide mengundang serta Malaysia, namun mereka tidak segera tercapai kesepakatan, sementara kebutuhan sudah mendesak.
Bagi operator telekomunikasi di mana saja, untuk akses ke bagian dunia lain, seperti ke Eropa, Amerika, atau Australia, tidak bisa bergantung pada satu rute, misalnya lewat TIS terus ke Hongkong dan ke Amerika lalu mengitari Bumi untuk ke Eropa. "Rute dipisahkan berdasarkan jurusan dan aksesnya ke banyak jaringan, tidak cuma lewat Singapura," kata Kristiono.
Pemilikan kabel laut untuk akses internasional, menurut Kristiono, sangat strategis bagi perusahaan yang dipimpinnya itu. Tidak hanya untuk SLI, tetapi juga untuk transpor data dan IPLC (international private lease channel), apalagi kecenderungannya kini perusahaan-perusahaan multinasional menghendaki jaringan telekomunikasi data yang berkapasitas besar. "Jaringan kabel laut serat optik TIS ini merupakan batu lompatan (stepping stone) bagi PT Telkom untuk akses ke bisnis internasional," katanya. Tanpa memiliki akses ke jaringan internasional, sulit bagi PT Telkom untuk masuk ke bisnis sambungan internasional yang selama ini hanya dimiliki oleh PT Indosat.
Ia yakin jaringan kabel lautnya bisa segera dimanfaatkan masyarakat karena sewa per E-1 (E-one) TIS akan jauh lebih murah dibanding menyewa E-1 pemilik jaringan lain, termasuk milik PT Indosat. Saat ini malah banyak ISP (Internet service provider/penyedia jasa Internet) di Indonesia yang menyewa jaringan langsung dari AS yang per E-1 harganya 5.000 dollar AS sampai 10.000 dollar AS. "Dengan adanya TIS, para pemilik ISP mempunyai pilihan sehingga tak perlu menyewa kepada orang lain," kata Kristiono.
Menurut pengetahuannya, dari semua biaya yang ditanggung ISP, biaya terbesar adalah sewa untuk akses internasional dan TIS menawarkan harga yang bersaing. Kalau sewa akses turun ISP dapat meningkatkan bisnis Internetnya karena tarif ke pelanggan juga dapat diturunkan. "Jadinya, pembangunan jaringan akses internasional ini bukan cuma untuk kepentingan PT Telkom saja," katanya pula.
Meski hanya memiliki jaringan akses sepanjang 1.035 km bersama Singapura dan Thailand, PT Telkom juga tetap harus dapat masuk ke jaringan ke bagian lain dunia ini, tetapi cukup dengan cara menyewa. Saat ini banyak sekali pemilik jaringan kabel laut sehingga bagi PT Telkom lebih mudah karena dapat memilih mana yang paling murah.
Apalagi di dunia sudah terjadi investasi berlebihan di jaringan kabel laut sehingga malah banyak perusahaan yang bangkrut seperti di Amerika dan jaringan global. Meski demikian, saat ini kabel laut di Asia Pasifik relatif belum besar sehingga pasar untuk TIS, misalnya, masih baik.
Kristiono mengaku masih menunggu pemerintah mengeluarkan lisensi SLI kepada PT Telkom sehingga jaringan kabel lautnya dapat segera dimanfaatkan, meski saat ini sudah untuk kanal sewa. Ia yakin pemerintah sebelum mengeluarkan lisensi ingin duopoli berada dalam aturan yang menyeluruh dan utuh agar kompetisi ke depan dapat berjalan dengan lebih baik.
Kompetisi, katanya, membutuhkan situasi yang fair dan transparan sehingga masyarakat juga yang diuntungkan. Ia juga diberi tahu bahwa rancangan aturan sudah siap sehingga sebenarnya bisa segera ditetapkan dan tidak mundur lagi dari tahun ini seperti terjadi dua kali sebelumnya. "Tinggal tunggu disemprit (dibunyikan peluit)," kata Kristiono.
MENURUT Janto Warjanto, kapasitas kabel laut TIS yang kini sudah digunakan ini mencapai 30 giga dan PT Telkom mendapat bagian sepadan (equal) dengan 20 giga. "Ini sudah cukup banyak sampai 10 tahun ke depan, sebab kebutuhan saat ini hanya sekitar 2,5 giga," kata mantan Direktur Internasional PT Satelindo itu.
Bagi PT Telkom, kata Janto, bisa saja masing-masing anggota TIS tidak membangun sendiri, melainkan menyewa kapasitas. Namun, kenyataan di dunia komunikasi kabel laut tak ada pemilik kabel yang menyewakan kapasitas sebesar itu.
Menurut dia, jika harga sewa tidak turun karena persaingan yang makin ketat akibat makin banyak kapasitas tersedia, dalam waktu tiga tahun modal pembangunan akan dapat kembali. Apalagi dewasa ini banyak perusahaan besar yang sudah mulai menghendaki kapasitas besar sampai 2 megabit per detik, tidak lagi cukup hanya dengan 64 kilobit seperti yang disediakan PT Telkom selama ini.
Dengan adanya TIS ini, otomatis performansi pengiriman data lewat PT Telkom akan membaik dari saat ini yang masih rendah. Hal itu akan menguntungkan masyarakat, terutama pelanggan korporasi yang memiliki akses ke luar negeri.
Untuk sementara, TIS ini sudah memadai bagi PT Telkom karena untuk akses ke bagian dunia lain dapat menyewa kapasitas dari Hongkong, baik untuk ke Amerika atau ke Eropa. Bahkan, ke Australia pun sambungan telepon dapat disalurkan lewat Singapura, Malaysia, atau Hongkong dan PT Telkom dapat memilih yang paling handal dan paling murah.
Ke Hongkong, PT Telkom menyewa sebesar 2 STM-1 (synchronous transfer mode) yang berkapasitas masing-masing 155 megabit per detik. Tiap 1 STM-1 sama dengan 63 E-1 yang tiap E-1 ada 30 port. Hongkong diakui merupakan titik interkoneksi ke jaringan global, tidak cuma ke AS, tetapi juga ke Cina, Jepang, Eropa dan Australia.
Meski TIS sudah memadai, PT Telkom tetap akan membangun akses ke jaringan internasional lewat barat yang akan mulai dibangun antara Dumai (Riau) dan Melaka (Malaysia). Selain ke Singapura, yang merupakan akses terpendek ke mancanegara dari Indonesia, jalur Dumai-Melaka juga pendek, hanya sekitar 115 km saja. Dari sini akses ke dunia luar bisa masuk ke Sea-Me-We3 atau jaringan kabel laut yang lain.
Dikatakan, perkembangan saat ini, jaringan kabel komunikasi tidak lagi model star yang bercabang-cabang, melainkan ring, dan di domestik PT Telkom sudah menerapkan tujuh ring. Di internasional, dengan ring kita tidak bergantung pada satu negara atau jaringan karena akses bisa dilewatkan ke mana saja sehingga jika terjadi apa-apa dengan satu negara atau jaringan, pemakai jasa tidak dirugikan dan hubungan tak terputus.
Untuk akses internasional ini, selain jaringan domestik masuk lewat Batam-TIS terus ke Hongkong, dapat juga Batam-Dumai-Melaka terus ke Eropa lewat Timur Tengah. "TIS dan DMCS (sistem kabel laut Dumai-Melaka) akan menjadi tulang punggung (backbone) telekomunikasi internasional ASEAN," tutur Janto. (MOCH S HENDROWIJONO)


0 komentar:

Posting Komentar