Another Source

Jumat, 03 Februari 2012

Komunikasi Digital


Spread Spektrum

Prinsip Spread Spectrum

Spread Spectrum merupakan sinyal band lebar (wide band), mirip noise. Oleh karena sinyal Spread Spectrum mirip dengan noise, sehingga sulit untuk dideteksi. Sinyal Spread Spectrum sulit untuk ditangkap ataupun didemodulasi. Lebih jauh lagi, sinyal Spread Spectrum lebih sulit untuk di jam (diinterferensi) dibandingkan sinyal narrow band. Fitur Low Probability of Intercept (LPI) dan anti-jam (AJ) inilah yang menyebabkan penggunaan Spread Spectrum oleh pihak militer. Sinyal Spread dibuat lebih lebar band-nya dibandingkan dengan sinyal informasi yang dibawanya.

Sinyal-sinyal Spread Spectrum menggunakan kode-kode yang kecepatan beberapa kali lipat dibandingkan bandwidth informasi atau data rate. Kode-kode ini merupakan kode "Spreading" spesial yang disebut kode "Pseudo Random" atau "Pseudo Noise". Dinamakan "Pseudo" karena mereka bukanlah noise gaussian yang sebenarnya.

Transmitter Spread Spectrum menggunakan leval daya transmisi yang serupa dengan transmitter narrow band. Oleh karena sinyal Spread Spectrum sangat lebar, sehingga ditransmisikan pada kerapatan daya spectral yang lebih rendah, dalam Watt per Hertz, dibandingkan transmitter narrowband. Karakteristik kerapatan daya transmisi yang rendah ini memberikan nilai plus bagi sinyal spread. Sinyal-sinyal Spread dan narrow band menduduki band yang sama, tanpa ataupun sedikit interferensi.

Direct Sequence Spread Spectrum (DSSS, DS Spread Spectrum)
 DSSS adalah didasarkan atas spreading dan despreading data base-band dengan deretan PN (PN sequence).

DS Spektrum Spreading


Dilakukan dengan gerbang EXOR dua input (Gambar 1a di mana A merupakan data NRZ kecepatan rendah dan B merupakan deretan  PN kecepatan tinggi). Aturan EXOR : jika A dan B identik, maka C = 0 ; jika tidak C = 1. Dalam ekspresi Boolean :

C = A(B) + (A)B

Tabel kebenaran dan bentuk gelombangnya diberikan pada gambar 1b dan 1c. Spektrum dayanya diperlihatkan pada gambar 1a  sebagai ilustrasi. Di sini, sinyal input A merupakan data NRZ yang memiliki spectrum daya yang sempit. Input kedua merupakan sinyal kecepatan tinggi B, kode PN, yang memiliki spectrum daya yang lebih lebar. Sinyal C pada output memiliki kecepatan transisi yang sama dengan deretan PN (sinyal B), oleh karena spectrum dayanya yang lebih lebar, tetapi amplituda yang lebih rendah karena energi total adalah konstan.



Gambar 1. (a) Gate EXOR (b) table kebenaran (c) bentuk gelombang

DS Spektrum Despreading

Despreading DS spectrum merupakan proses pengembalian data dari komposisi sinyal spread spectrum. Ini dilakukan dengan gerbang EXOR seperti pada gambar 2, di mana data C dijadikan salah satu input dan deretan PN yang identik dijadikan input kedua. Output “Y” merupakan sinyal keluaran yang merupakan data asli bentuk NRZ “A”. Proses ini hanya berjalan bila deretan PN (sinyal B) sama (identik) antara spreading dan dispreading, jika tidak, sinyal yang diinginkan tidak akan bisa di-recover


Gambar 2. (a) Gerbang EXOR (b) table kebenaran (c) bentuk gelombang

Sebagai contoh, perhatikan rangkaian pada gambar 3, di mana data NRZ kecepatan rendah (A) di-EXOR-kan dengan deretan PN kecepatan tinggi (B). Sinyal spread sprektrum yang dihasilkan (C) di-EXOR-kan lagi dengan deretan PN yang sama. Tujuannya untuk membuktikan bahwa output akhir Y = A, jika deretan PN-nya identik


Gambar 4. Spreading dan despreading dalam lingkungan interferensi

Sinyal yang diinginkan, yaitu A, di-recover oleh proses dispreading. Komponen interferensi di-spread dalam seluruh band kode PN kecepatan tinggi. Magnituda dari daya interferensi berkurang karena energi adalah tetap.

Kode-kode yang digunakan dalam sistem Spread Spektrum memiliki sifat orthogonal dan cross-corelation nol (zero).


Kode Ortogonal

Kode-kode Orthogonal adalah elemen dari kumpulan bilangan biner yang jika dikalikan satu sama lain menghasilkan 0 bagi kode-kode yang tidak identik, dan bukan 0 bagi kode-kode yang identik.
Secara matematis, kumpulan kode yang saling orthogonal didefinisikan sebagai 

{O}={x0,x1,x2,....xN-1

dan setiap X,Y yang merupakan elemen dari {O} inner product dari X dan Y adalah 0 kecuali X=Y  (X dan Y tidak dapat menjadi vector-vektor nol)

inner product dari X dan Y = XY =

contoh : jika X=1,-1 dan Y=1,1 XY=1x1+(-1x1)=0 tetapi XX=1x1+(-1x-1)=2 dan YY=1x1+1x1=2


Contoh Deteksi Sinyal menggunakan ortogonalitas
S   =     y1        [1  ,  -1  ,   1  ,  -1 ,    1  ,  -1  ,   1  ,  -1]         
           +y2       [1  ,   1  ,  -1  ,  -1  ,   1  ,   1  ,  -1  ,  -1]          
            +y3       [1  ,  -1  ,  -1  ,   1  ,   1  ,  -1  ,  -1  ,   1]          
            +y4       [1  ,   1  ,   1  ,   1  ,  -1  ,  -1  ,  -1  ,  -1]          
            +y5       [1  ,  -1  ,   1  ,  -1  ,  -1   ,  1  ,  -1   ,  1]
        
      = [5,-1,1,-1,1,-1,-3,-1]

Misalkan sinyal yang ingin dideteksi adalah y5 = [1,-1,1,-1,-1,1,-1,1]

S . y5 = 5+1+1+1-1-1+3-1 = 8

Jika ada suatu sinyal lain y6 = [1,1,-1,-1,-1,-1,1, 1], yang tidak menjadi bagian dari S

S. y6 = 5-1-1+1-1+1-3-1= 0

S. y7 = 0

S. y1= S. y2 = S. y3 = S. y4 = S. y5 = 8 

Inner product S dengan kode yang menjadi bagian dari penjumlahan memberikan nilai non-zero, dan dengan kode lain yang tidak menjadi bagian dari penjumlahan memberikan nilai 0.

Kode Walsh

Kode Walsh orde n adalah kumpulan kode-kode yang saling orthogonal dengan panjang 2n, digunakan pada sistem telepon bergerak IS-95A CDMA
contoh w3 =
     [1  ,   1  ,   1  ,    1  ,   1  ,   1  ,   1  ,   1;           
       1  ,  -1  ,   1  ,  -1 ,    1  ,  -1  ,   1  ,  -1;          
       1  ,   1  ,  -1  ,  -1  ,   1  ,   1  ,  -1  ,  -1;          
       1  ,  -1  ,  -1  ,   1  ,   1  ,  -1  ,  -1  ,   1;          
       1  ,   1  ,   1  ,   1  ,  -1  ,  -1  ,  -1  ,  -1;          
       1  ,  -1  ,   1  ,  -1  ,  -1   ,  1  ,  -1   ,  1;          
       1  ,   1  ,  -1  ,  -1  ,  -1  ,  -1  ,   1  ,   1;          
       1  ,  -1  ,  -1  ,   1  ,  -1  ,   1  ,   1  ,  -1];         


Perhatikan bahwa diagonal matriks yang dihasilkan dari w3 * w3
   w3 * w3   =     [ 8     0     0     0     0     0     0     0
                            0     8     0     0     0     0     0     0
                            0     0     8     0     0     0     0     0
                            0     0     0     8     0     0     0     0
                            0     0     0     0     8     0     0     0
                            0     0     0     0     0     8     0     0
                            0     0     0     0     0     0     8     0
                            0     0     0     0     0     0     0     8]


hanya elemen-elemen diagonal yang berupa non-zero, membuktikan bahwa baris dan kolomnya adalah orthogonal

Penggunaan matriks Hadamard untuk menghasilkan kode Walsh


H1=[1]   H2= [1, 1;       H4= [1, 1, 1, 1;   dst
                       1, -1]              1,-1, 1,-1;
                                              1, 1,-1,-1;
                                              1,-1,-1, 1]

H2n+1 =   [Wn, Wn;       
                  Wn,-Wn]

Walsh n=H2n. Cobalah untuk H8 di mana Wn = W2 = H4


Cross-Correlation (Korelasi silang)
Korelasi silang antara nilai yang dihasilkan oleh dua proses random merupakan ukuran statistik dari kemiripannya. Metode ini berfungsi untuk mendeteksi suatu deretan biner pada sebuah sinyal, untuk sinkronisasi atau untuk memisahkan (code division multiple access) atau unutk mendeteksi symbol tertetu.
Untuk nilai real, korelasi silang dapat diestimasi dengan menggunakan

Rm = (Zigma (n=1 s/d m) )(X  n+m) * Yn


di mana M = panjang Y
isi X dengan 0 di mana diperlukan
misalnya X=1,1,-1,-1,1,-1,1,-1,1,1 adalah suatu sinyal dan jika kita ingin menentukan fragment Y=-1,1,-1 maka geser -1,1,-1 sepanjang deretan X satu per satu setiap satuan waktu dan jumlahkan produk dari bit-bit.

R=xcorr(X,Y)=-1,0,1,-1,-1,3,-3,3,-3,1,0,-1
Elemen nilai tertinggi dari R (3) berhubungan dengan posisi Y dalam deretan X.
Contoh X-corr

1
1
-1
-1
1
-1
1
-1
1
1







-1
1
-1









1*-1


=
-1

1
1
-1
-1
1
-1
1
-1
1
1








-1
1
-1








1*1+(1*-1)
=
0

1
1
-1
-1
1
-1
1
-1
1
1









-1
1
-1







1*-1+1*1+(1*-1)
=
1

1
1
-1
-1
1
-1
1
-1
1
1










-1
1
-1






1*-1+(-1*1)+(-1*-1)
=
-1

1
1
-1
-1
1
-1
1
-1
1
1











-1
1
-1





-1*-1+(-1*1)+-1*-1
=
-1

1
1
-1
-1
1
-1
1
-1
1
1












-1
1
-1




-1*-1+(1*1)+-1*-1
=
3




















Agar kumpulan kode dapat berfungsi, anggota dari kode tersebut harus memiiliki karakteristik tertentu yaitu :
·        Sebanyak mungkin dalam kumpulan sehingga dapat merepresentasikan banyak kanal (atau symbol).
·        Mudah dihasilkan.
·        Memiliki korelasi silang nol dengan anggota lain dari kumpulan (x-corr yang buruk menghasilkan kecocokan palsu / false matches).
·        Memiliki Auto-correlation yang baik. (yaitu korelasi silang dengan dirinya sendiri).
·        Kode-kode tidak mesti orthogonal secara absolut. Psuedoorthogonal juga dimungkinkan selama terdapat perbedaan yang signifikan antara produk cross dan auto. Contohnya kode Psuedo-random Number (PN).

Kode PN (Pseudo-random Noise)

Dihasilkan dari register geser feedback linier satu bit (linear one bit linear feedback shift registers, LFSR) dinyatakan dalam bentuk polinomial, contoh pn(z)=1+z2+z3 dan suatu nilai awal, contoh 0,0,1.

 
Gambar 5. LFSR m = 3 , pn = 1+z2+z3

·        Terdapat non-zero state sebanyak  2m-1 untuk LFSR m-stage (m tingkat).
·        Perioda dari sebuah kode PN yang dihasilkan oleh LFSR m-stage adalah lebih kecil dari 2m-1
·        Jika kode PN yang dihasilkan dari metode ini memiliki periode 2m-1 maka disebut deretan Maximal Length (ML) atau m-sequence (deretan m).
·        LFSR stage m=3 stage LFSR pada contoh gambar 1. memiliki deretan
1011100  1011100  1011100  1011100  1011100……
yang memiliki panjang pengulangan 7 dan oleh karena 7=23-1 ini merupakan  m-sequence.
·        Panjang deretan bertambah besar dengan naiknya nilai m.
·        Kode PN panjang yang digunakan dalam IS95 memiliki periode pengulangan 242-1 yang berulang setiap 100 tahun, dan memiliki bentuk polynomial z42+z35+z33+z31+z27+z26+z25+z22+z21+z19+z18+z17+z16+z10+z7+z6+z5+z3+z2+z1+1



Transmitter DS Spread Spektrum

Input biner dikalikan dengan data rate R dengan kode spreading pada chipping rate Cr.
(CHIP: waktu yang dibutuhkan untuk mentransmisikan sebuah bit atau symbol dari kode PN.)
Contoh R= 19,2 Kbps dan Cr=1,2288 Mchips/s. Gain processing adalah Cr/R = 64 for IS-95. (sistem telepon bergerak CDMA)
Bandwidth dari sinyal baseband ditentukan oleh chipping rate , bukan data rate.
Kemudian carrier RF dimodulasi sehingga sinyal wideband dapat ditransmisikan.

Gambar 6. Transmitter Spread Spektrum

Gain processing (processing gain, PG) mengindikasikan perbaikan dari S/N setelah spreading/despreading dibandingkan dengan spreading/dispreading.
Jika PG adalah 64 maka 10log10(64)=18dB merupakan seberapa besar sinyal interferensi narrowband berkurang dibandingkan dengan sinyal yang diinginkan setelah despreading.
Sehingga pada kasus IS95 rasio S/N meningkat 18dB dengan adanya penggunaan spreading dan despreading.

Frequency Hopping Spread Spectrum

Pada sistem Frequency Hopping, frekuensi carrier 'hopping' / loncat menurut suatu deretan dengan panjang NFH. Dengan cara ini bandwidth juga melebar. Jika kanal-kanal tidak saling tumpang tindih maka faktor spreading-nya adalah
PG = NFHx


Deretan PN dihasilkan di modulator digunakan untuk menggeser frekuensi dari sinyal FSK secara pseudo random, pada  rate hopping Rh. Sinyal yang ditransmisikan menduduki sejumlah frekuensi dalam domain waktu, di mana setiap frekuensi memiliki perioda Th (=1/Rh). FHSS membagi bandwidth yang ada ke dalam N kanal dan meng-hop antara kanal menurut deretan PN. Pada setiap hopping frekuensi, generator PN memberikan FW (frequency word) melalui frekuensi synthesizer yang mendiktat salah satu dari 2n posisi frekuensi fhi. Transmitter dan receiver-nya mengikuti pola hop frekuensi yang sama.

Bandwidth yang ditransmisikan ditentukan oleh posisi hop terendah dan tertinggi dan oleh bandwidth per posisi hop (Dfch).

Penyebaran spketrum (Spectrum Spreading) dapat dilakukan secara sederhana dengan meningkatkan frekuensi dari sinyal diskrit. Sebuah sinyal dengan amplituda V dan frekuensi f (f = 1/T) dan kemudian frekuensi dari sinyal tersebut dinaikkan dengan faktor n, yaitu T sekarang dibagi n. Kondisi ini digambarkan pada persamaan 1 dan bentuk sinyalnya diperlihatkan pada gambar 1.a.


V(t)      = V                  0<t<T
= 0                   lainnya

V(t)      = V                  0<t<T/n
= 0                   lainnya                                   ….. (1)

Transformasi Fourier dari (1) menghasilkan komponen spectral untuk 0<t<T







0 komentar:

Posting Komentar